Senin, 01 Mei 2017

opo toh langen tayub kui?

Sebuah Wacana
“BUDAYA LANGEN TAYUB DI BEKTIHARJO

Keheningan yang aku rindukan di dalam ruangan yang penuh inspirasi bertambah semenjak datangnya air hujan yang jatuh menyejukkan hari-hari yang menjenuhkan akhir-akhir ini. Sunggung hujan yang tenang dan membuatku lebih nyaman untuk duduk-duduk sekedar membaca ataupun menulis beberapa kalimat indah setelah insiden data komputer yang hilang dua hari yang lalu. Sepetinya jubah hangat sang mentari tak dapat menembus kumpalan sihir hitam sang hujan.
Jarum pendek jam dindingku sudah mendekati angka empat. Dan hujan masih setia meramaikan dengan gemuruh merdunya. Cangkir kosong yang tadinya bersisi cairan hiam kental menemani di sampingku. Beberapa kali ia isi dari tadi malam bukan untuk menghilangkan kantuk, namun hanya sekedar nyaman saat menulis atau membaca sesuatu ditemani kopi panas. Bahkan teman-teman bilang Anggik dan Kopi atau coklat itu pasangan serasi saat sedang menghadap sebuah buku.
“Sepertinya sebentar lagi akan reda hujan ini.” Bisikku lembut dalam hati dengan harapan hujan mengerti arti pintaku yang merindukan pelani di salah satu sudut langit membentang membelah cakrawala. Aku kumpulkan niat untuk beranjak dari kursi yang memelukku sedari tengah malam tadi menuju ke teras depan untuk memastikan kalimat yang tersirat dalam hati barusan.
Udara basah yang ku hirup pagi ini lebih segar dari yang ku kira sebelumnya. Beberapa tetes air hujan membasahi lekukan wajah yang masih penuh dengan aura lelah karena hanya tidur sebentar saja. Namun perlahan garis senyum tertoreh di wajah ini. Air hujan berhasil menggugah semangatku.
Tiba-tiba terdengar musik jawa mengalun perlahan dari rumah tetangga. Suara gamelan yang bersahutan membentuk harmoni melewati daun telingaku.aku pejamkan mata untuk mendalamai nada-nada yang tercipta. Mengalun lembut dan memanjakan jiwa di pagi hari. Namun, musik ini mengingatkanku tentang tugas untuk meliput tentang kebudayaan di sekitar rumah. Tugas kuliah yang terbengkalai karena komputer belum sembuh sepenuhnya di tambah lagi tugas-tugas dari mata kuliah lain yang ikut menyertai stresnya pikiranku karena data-data hilang semua. Itu komputer penuh dengan karya-karya yang aku ciptakan. Dan kini hilang.
Sebenarnya sudah beberapa hari lalu aku merencanakan untuk mengumpulkan data, di mulai dari mencari buku-buku di perpustakaan umum yang ternyata aku tidak menemukannya. Bodohnya aku yang tidak langsung bertanya kepada petugas Perpustakaan. Ahhh ya sudahlah. Beberapa kali aku mencoba mencari ke rumah narasumber yang menjadi targetku sebelumnya. Namun sialku selalu tidak pernah bertemu dengan beliau. Ya memang beliau orang yang sangat sibuk. Sudah komputer rusak, data hilang, cari buku tidak ada, cari narasumber beberapa kali tidak bertemu. Ini tugas menjadi sebuah misi yang seharusnya mudah malah menjadi misi kelas A.
Jadi untuk hari ini tidak boleh gagal lagi. Dengar-dengar ada orang yang tahu tentang hal-hal budaya di sekitar yaitu Juru Kunci. Rumah beliau tidak lebih dari 200 meter. Sekali lagi aku melakukan kesalahan. Kenapa aku harus mencari yang jauh terlebih dahulu padahal ada orang dekat yang bisa aku mintai bantuan.
Malam ini adalah malam terakhir aku harus menulis untuk menyelesaikan tugas ini karena besok jam 8 sudah terakhir mengumpulkan. Berarti ini adalah malam terakhir untuk wawancara. Tidak di sangka kerjaan masih menumpuk dan harus selesai pula malam itu.
Aku berjalan kaki dengan adik perempuanku yang masih duduk di kelas 1 SMK. Dia juga bercita-cita menjadi seseorang yang berkecimpung di dunia komunikasi. Aku berada di pintu gerbang kediaman Bapak Hartono yang tertutup rapat. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku panggil dari depan gerbang namun tidak ada suara yang terdengar. Baiklah ada cara lain. Cara usil. Aku berjalan menuju pos kampling yang ada di depan rumah beliau dan aku pukul kentongan pertanda jadwal ronda siap di mulai yaaa padahal masih satu jam lagi biasanya di mulai. Tidak ku sangka pintu rumah Bapak Hartono terbuka dan beliau keluar. Bergegas aku menuju kearah Beliau. Dan mengucapkan salam. Pastinya mendapat keramahan beliau dan dipersilahkan masuk kerumah.
“Pak terima kasih telah memberikan waktunya untuk wawancara kali ini.” Ucapku dengan senyuman.
“Kan belum dimulai.” Pak Hartono menimpali. Tawa renyah dari kami membelah keheningan rumah. Dua gelas jus jambu yang disuguhkan Mbak Okvi selaku anak dari Pak Hartono menemani obrolan santai kami.
“Begini pak saya mau bertanya seputar Langen Tayub di Desa kita ini.” Sebelum saya berlanjut beliau sudah bercerita banyak tentang hal ini. Beliau bercerita tentang asal usul Bektiharjo yang belum banyak orang tau, bahkan aku sendiri pun belum tahu cerita yang sebenarnya. Di sinilah aku mendapatkan banyak ilmu yang tidak aku sangka. Yaaa perjuangan ini terbalaskan lebih dari yang aku inginkan. Terima kasih untuk ketidak beruntungan sebelumnya.
“Jadi sebenarnya banyak penduduk sekitar yang belum tahu asal usul kenapa desa ini di beri nama Bektiharjo.” Aku hanya bisa mengangguk mendengar pernyataan yang memang benar adanya.”Yang memberi nama desa ini ya Bupati Dandang Wacono. Dulu sebenarnya pemandian ini ada dua pohon besar dan disekitar ada beberapa pohon pula sehingga tempat ini adalah tempat yang rindang. Orang-orang akan merasa nyaman bila beristirahat di sini. Akhirnya Bupati Dandang Wacono membuat sebuah tempat peristirahatan / persinggahan atau biasa di sebut pesanggrean. Hingga suatu hari ada seseorang yang mengunjungi tempat itu dan mencium tangan kepada Bupati Dandang Wacono sehingga di beri nama “Sowan Pangabekti.” Dan seiring waktu berubah menjadi Bektiharjo.” Jelas Bapak Hartono
“Dulu sebenarnya ada kursi dan meja di dekat pemandian, namun sekarang benda yang seharusnya menjadi bukti sejarah malah hilang entah kemana. Ini yang seharusnya menjadi hal yang menarik wisatawan malah hilang. “
“Kenapa di sana ada makam? Apa yang ada di makam tersebut masuk dalam sejarah Bektiharjo?”
“oooo jelas ada, makam tersebut adalah makan Janur Wendo. Beliau adalah seorang penyiar agama islam di sini.”
Aku mencoba berpikir apa lagi yang akan aku tanyakan tentang sejarah ini. Namun ini keluar dari misi sebelumnya. Baiklah kembali ke misi awal. Satu hisapan jus jambu yang segar memulai perbincangan baru.
“Pak kenapa di sini ada langen Tayub?”
“Sebenarnya Langen Tayub ini sebuah hiburan dari Jawa sebagai bentuk syukur, hiburan, dan agar masyarakat berkumpul. Dengan media gamelan sebagai musik akan membuat orang-orang berdatangan untuk sekedar melihat atau mungkin ikut menari dengan sindir atau biasa di sebut waranggono.”
“Lantas kenapa sebelum ada Langen Tayub ini selalu ada prosesi manganan?”
“Manganan, dan Tayub sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala namun kurang tahu kepastiannya itu kapan. Acara Langen tayub ini selalu di adakan hari Rabu Pon. Manganan dan Tayub ini sebanrnya bentuk syukur atau biasa di sebut dengan sedekah bumi dari hasil tani. Tayub sendiri sebagai bentuk rasa senang. Intinya ya untuk hiburan setelah bekerja keras.”
“Nah , kenapa di Bektiharjo pak? Kenapa tidak di balai desa saja ? apa ada hubungannya dengan sejarah tadi yang bilang bahwa di pemandian Bektiharjo dulunya ada tempat yang di sebut Pesangrean?” Apa pertanyaanku tidak terlalu menghujam ya. Hihihihi
“Mas Anggik kan sudah tahu disini tempatnya sumber air yang sangat melimpah dan mengalir dibeberapa desa seperti Bektiharjo sendiri, Prunggahan Kulon, Tegalagung, hingga sampai di Desa Karang juga.”
“Lha kok berubah jadi air pak? Bukannya tadi hasil tani?”
“Hahahahaha.” Pak Hartono tertawa pelan dan berhasil membuatku bingung kenapa jadi tertawa. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan?.”Mengaliri sawah kan perlu air toh mas.” Tawanya berlanjut dan kini aku juga ikut tertawa karena aku benar-benar terlihat bodoh di sini.
“Berarti desa-desa tadi mengambil air dari sungai yang bersumber dari Bektiharjo ini ya, pak? Makanya hanya desa-desa itu saja yang menggelar manganan di desa ini.”
“Betul sekali.”
“Sebentar pak. Bukankah di sini ada dua kali kegiatan manganan ya?”
“Iya yang satunya di widodaren.”
“Apa itu juga termasuk bentuk syukur yang sama dengan yang di Pemandian pak?”
“Iya, sebenarnya sama, hanya saja di Widodaren kan ada sumber air lain. Jadi disana juga harus disyukuri seperti di pemandian.”
Sepertinya pembicaraan ini mulai mengalir deras dari sebelumnya. Terlihat dari cara berpikir dan mengucapkan kata-kata yang sudah terlihat serius. Aku sedikit mengubah posisi dudukku. Dan sepertinya pak Hartono juga menunggu pertanyaanku selanjutnya.
“Oh iya pak, di Pemandian ada prosesi melempar makanan ke pemandian ya? Itu tujuannya apa? Kok makanannya malah di buang?”
“Hahaha, itu bukan dibuang mas. Itu sebenarnya memberi makan ikan dengan dalil, kalau punya sesuatu ya harus dibagi toh, kan ikan-ikan juga butuh makan seperti kita, jadi sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa ya harus saling berbagi apabila ada rejeki.” Kata-kata yang mengalir indah itu membuatku semakin kagum dengan kebudayaan yang ada di Indonesia ini.
Jadi sebenarnya susunan acara ini sebagai bentuk syukur atas hasil tani yang lancar karena sumber air yang melimpah. Dan semua prosesinya seperti melempar nasi ke pemandian bukanlah perbuatan yang sia-sia tanpa tujuan.
“sebagai penutup, pak. Saya ingin tahu istilah-istilah yang sering saya dengar namun belum tahu kejelasannya apa itu. Seperti apa itu waranggono, Pramugari, Pengrawit, terus Tayuban, terus apa itu Sindir Siraman?”
“Hehehe, satu-satu dulu ya. Untuk apa tadi? Waranggono ya? Waranggono itu ya yng disebut Sindir tadi. Mereka adalah penari traditional jawa. Kalau di sini paling terkenal ada yang dari Bojonegoro dan Jatirogo. Terus ada lagi yang disebut dengan Pramugari. Pramugari itu yang bertugas sebagai pembawa acaranya, yang membangkitkan suasana seperti MC, sekaligus bertugas untuk menata orang-orang yang mau tayuban / mbeso.” Pak Hartono memberian jeda dalam penjelasannya untuk berpikir tadi apa aja yang aku tanyakan.”Untuk Pengrawit  itu pemain gamelannya. Kalau tayuban mas Anggik pasti tahu.”
“hehehe iya pak, Tayuban itu ya masyarakat yang ikut menari itu toh. Dan pasti bapak-bapak saja. Hahahahha”
“yang terakhir sindir siraman itu wisudanya sindir. Jadi setelah diwisuda mereka mendapatkan ijazah yang bisa digunakan sebegai identitas kelayakan mereka. Itu diadakan oleh dinas Pariwisata dan kenapa di Pemandian Bektiharjo? Itu digunakan sebagai media pengembangan wisata yang ada di Tuban.”
“Hehehe sangat jelas pak, malah lebih-lebih yang bapak sampaikan kepada saya.”
Jam sudah menunjukkan sudah hampir mendekati malam. Sudah sangat larut kami berbincang-bincang soal budaya ini. Pak Hartono sangat antusias apabila diajak berbincang-cincang seperti ini. Karena hal ini sudah selesai semua. Aku mantapkan diri untuk berpamitan kepada Pak Hartono dan melanjutkan misi terakhirku yaitu menulis semua ini dan mengirimkan ke pak dosen. Namun bukan hanya itu yang aku dapat kali ini. Pengetahuan tentang indahnya budaya Indonesia khususnya budaya Langen Tayub ini sehingga kecintaan terhdap budaya harus selalu dikembangkan bagi generasi penerus bangsa.