Kamis, 26 Oktober 2017

HEBOH!!!! TUBAN PANAS

TUBAN PANAS, Yo Po Ra? (Betul tidak?)

Kian hari kian terasa. Syukur-syukur kalo terasa rindu atau bahagia. Ini yang terasa adalah panas yang menyiksa. Kotaku tak lagi sama. Kotaku yang di kenal dengan adiwiyatanya berubah menjadi kota dengan suhu panas. Lantas saya harus mengeluh kepada siapa? Industri yang sudah ada sejak lama? Industri yang sedang dalam pembangunan? Mosok bener industri alasane? Lha Pemerintah yang mengijinkan industri datang? Mungkin setelah ini saya akan di cari karena pertanyaan seperti ini. Pasti yang mencari saya orang yang mempunyai AC di ruangannya. Cobalah kalian matikan AC kalian, atau berkunjunglah ke rumah tetangga yang tak ber-AC. Kalau tetap sejuk berarti hanya rumah saya yang panas.

Tanah di tuban sekarang banyak yang di tancapi patok atau di pasang spanduk dengan tulisan yang sama “DIJUAL TANAH TANPA PERANTARA, SHM.” Banyak pula perumahan-perumahan baru di tuban pesisir bagian barat dengan alasan sebentar lagi tanah di sana akan mahal, jadi bisa di jadikan investasi. HEBAT!!! Masyarakat punya skil berdagang. Ini tanah yang di jual atau kehidupan yang layak dalam  jangka panjang?

Kalau di pikir-pikir sambil ngopi (mumpung masih ada warung kopi) Bakalan gak bisa mancing kodok di sawah nih, layangan pasti akan nyangkut di tiang-tiang atau di pabrik, bakalan tidak bisa foto-foto di hamparan padi. Hahahahah setelah ini semua akan prewedding dengan background pabrik.

Pasti sebentar lagi ada pembangunan fasilitas kesehatan lagi. Dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Ya gitu-gitu aja terus. Di buat sakit terus di suruh bayar untuk sembuh.

Gunung-gunung yang biasa di pakai untuk melihat dari ketinggian akan hilang, laut yang biasa di nikmati dengan senja yang merona akan berubah warna, jalanan yang menjadi tempat berolahraga tiap harinya akan menjadi sumber untuk penyakit yang merajalela. Terus keindahan apa yang harus saya nikmati? Debu dari pabrik? Limbah yang mengalir? Suara berisik dari mesin? Jalanan yang penuh dengan kendaraan besar?


Bapak-bapak penguasa, kalian tidak merasakan panas karena AC. Apa mau belikan AC untuk seluruh masyarakat Tuban? Saya tunggu lho.

Rabu, 16 Agustus 2017

#Perjalananbukanpelarian

“ G E R A U “
Kau tak sebiru yang dulu

Lukisan langit semakin luas saja. Ia tidak tanggung dalam memenuhi bingkai kecil ini. Tanganku juga tidak ada hentinya untuk menulis di langit itu menggunakan imaji yang menderu. Tak jarang juga mulutku meracau tak karuan menyebutkan mantra-mantra untuk mencipta harapan. Dan tiba-tiba hati menggelitik untuk berjanji semua itu akan aku wujudkan dengan pasti. Suatu saat nanti.
Tak ku sangka aku bertemu denganmu di persimpangan dalam perjalanan menemukan rotasiku. Kau dengan senyum yang seperti biasa dan banyangan … yang menyelimuti. Yang seperti biasanya. Kali ini aku tak melihat binar matamu. Warna langit kini tak ku temukan di bagian itu. Meski sama-sama biru, matamu tak seperti langit yang biasa aku pandang. Ada warna hitam yang bercampur sehingga tak seperti warna langit. Apa hatimu juga tak seperti dulu? .
Aku menatapnya lebih dalam hanya untuk memastikan bahwa sesuatu yang (dulu) membekukanku masih hidup atau sudah semu? Ternyata memang benar, aku tak menemukan walau sedikit. Kini matamu tak mampu membekukanku termasuk langkah-langkahku. Aku masih bisa berjalan bebas tanpa dirimu. Aku tak terkekang oleh sesuatu yang hanya sesaat. Keindahanmu bukan lagi sesuatu yang aku puja seperti dulu. Kini kau hanyalah menjadi sebuah barang antik dalam hatiku yang akan aku taruh dalam tempat tersendiri. Barang antik yang mahal harganya.
Kali ini aku menjabat tanganmu dan mengucap apa kabar – sebagai masa lalu -. Aku tak bermaksud menggenggam tanganmu, aku hanya ingin menyentuhnya dan memastikan apa kau masih sehangat dulu.
“Aku baik-baik saja.” Jawabmu dan dalam hati aku akan selalu mendoakan kau baik-baik saja. Kau bisa lihat sendiri bukan? Aku lebih baik dari yang dulu. Luka yang ku dapat dari perjalanan yang membuatku tersungkur kini sudah benar-benar menghilang seolah tak pernah ada. Hanya ingatan dan pelajaran-pelajaran yang masih tertata rapi di ingatan. Au janji akan tetap membuatnya rapi seperti saat ini.
“Kau akan kemana?” pertanyaanmu sudah ku duga sebelumnya. Aku akan ke arah langit cerah. Tak heran bukan aku berjalan ke arah itu setelah badai yang aku temui. Sebenarnya…
Aku tak menyangka diriku sampai di sini
Tak ku sangka pula aku bertemu denganmu yang pernah menggores luka

Tak ku sangka harus bertemu di saat setelah aku mulai bangkit

Tak kusangka aku tak merasakan bekunya langkah dan sesaknya dada

Dan tak kusangka aku berjalan maju untuk bertemu cahaya

Benar-benar tak ku sangka aku yang pernah menyamakan langkah, kini melangkah ke lain arah…


Gerau
Biru kehitam-hitaman
Biru yang tak seperti langit
Biru yang tak seperti dulu
Gerau


#Perjalanan Bukan Pelarian

“ P E N D A R “
Wajahmu ada di cahaya penutup senja

Aku ingat saat cahaya sore terpantul di matamu. Warna jingganya mengisyaratkan keindahan. Sinarnya membuai wajahmu yang menimatinya dengan rekahan senyuman. Kau berdiri di sampingku dan menggengam tanganku dengan keyakinan.
Penuh harap.
Sesekali kau menoleh ke arahku, sesekali pula kau membuang muka secepatdiriku menyadarinya. Biasan mentari terlihat di kedua matamu. Berbinar tanpa henti untuk menikmati tiap alurnya. Rekahan warna jingga memperdalam suasana. Kiata di antara pendar.
Perahu membelah ombak di hadapan mata. Kita menuju ketengah lautan. Menjauhi mereka yang hanya diam menikmati senja. Kita ingin merengkuhnya berdua. Panorama pemikat jiwa. Seolah asa kita titipkan kepada bayangan senja yang terpantul dari lautan.
Lihatlah, bahkan samudra juga mengagumi kalian…
Senja dan orang yang kini di sampingku untuk bersandar di pundakku.
Sketsa ini tak bisa terlupa. Coba bayangkan apa yang mereka lihat. Kita di tengah bayangan matahari yang segera tenggelam di lautan. Kita menciptakan siluet untuk mereka nikmati. Sebuah titik kecil pelengkap senja.
Sesekali tanganmu merengkuh air laut, tiap kali tanganku merengkuh hatimu.
Mentari telah lenyap tenggelam kelautan dan digantikan gemintang yang membuat gugusan. Keindahannya berganti namun keindahanmu tidak.
Kita beranjak menepi meski berulang kali kau ingin tetap di sini, berulang kali hatiku berkata di manapun itu asal di sampingmu.
Masih saja terbayang wajah mu saat melihat senja, matamu terlihat sangat berbinar. Pantulan cahaya senja masih ada hingga sekarang. Mungkin karena aku suka senja, mungkin juga karena aku suka kamu, atau aku suka kalian berdua.


Senja berakhir untuk memberi kesempatan gemintang berpendar 

17 Agustus tahun ini?

Ada yang melintas di benak saya setiap tanggal 17 Agustus. Entah otak atau hati yang mencoba berimajinasi tentang perang di era perjuangan. Semua harus angkat senjata, menjadikan apapun menjadi alat untuk menyambung hidupnya. Kesempatan untuk saling menikmati hidup seperti sekarang seolah hanya mimpi, bahkan untuk bermimpipun pasti akan susah. Penderitaan adalah sesuatu yang harus segera dimusnahkan.

Tanggal 17 Agustus yang lalu hampir sama dengan saat ini, perayaan dengan berbagai lomba, dengan pawai, upacara di pagi hari untuk para orang yang berseragam. Untuk yang berseragam. Dengan semangat yang menggebu atau hanya sebagai formalitas? Banyak orang yang ingin upacara seperti itu, mereka bukan orang-orang yang berseragam namun mereka kadang menangis melihat bendera yang berkibar begitu tingginya, atau kadang merinding dan ikut menyatu dengan lantunan Indonesia Raya.

Lantas apakah semua telah merdeka sehingga bisa menikmati itu semua? Aku rasa kita hanya merdeka dari perang melawan penjajah saat dulu saja. Saat ini kita perang dengan banyak hal. Kemiskinan yang belum teratasi, tapi sosial media membahas tentang perkembangan negeri. Gedung-gedung tinggi telah berdiri, rumah-rumah konglomerat semakin megah. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang masih berjuang dan hampir putus asa? Negeri ini memang semakin maju, tapi di sisi lain banyak orang yang menunggu. Tentang bukti nyata bahwa semuanya mudah di negeri ini.
Ini tanah air kita atau tanah dan air orang lain?

Kita di sibukkan diri dengan hal-hal untuk menyelematkan diri sendiri. Tunggu dulu, menyelamatkan? Kita belum merdeka?

Di tahun ini antara 17 Agustus tahun lalu dengan 17 agustus tahun saat ini, banyak orang yang mempersiapkan masa depan, ada juga yang jatuh dengan mimpinya, ada yang merasa kehilangan, ada yang mendapatkan kabar gembira, ada yang masih biasa-biasa saja tanpa perkembangan, ada yang bersyukur, ada pula yang mengutuk, ada yang punya teman baru, ada pula yang harus meninggalkan masa lalu, ada yang bergerak maju, ada pula yang diam di tempat, ada yang lahir, ada yang tinggal menanti ajal, ada yang bersemangat, ada yang mematahkan, ada yang menuntun, ada yang mengajak, ada yang menjatuhkan, ada yang tersenyum, ada pula yang hancur dengan tangisnya. Kita indonesia, kita kibarkan bendera yang sama dan lebih tinggi dari kita, dari siapapun di Indonesia. Kita memandang bendera yang sama, kita tiada beda, sama rata.


 Lihatlah sekeliling kita, masih banyak tugas kita yang belum kita selesaikan. Saling membantu saudara-saudara kita meraih cita, maka dengan mudahnya kita meraih cita kita juga, maka dengan indahnya kebersamaan kita. 

DAN KITALAH INDONESIA

Senin, 01 Mei 2017

opo toh langen tayub kui?

Sebuah Wacana
“BUDAYA LANGEN TAYUB DI BEKTIHARJO

Keheningan yang aku rindukan di dalam ruangan yang penuh inspirasi bertambah semenjak datangnya air hujan yang jatuh menyejukkan hari-hari yang menjenuhkan akhir-akhir ini. Sunggung hujan yang tenang dan membuatku lebih nyaman untuk duduk-duduk sekedar membaca ataupun menulis beberapa kalimat indah setelah insiden data komputer yang hilang dua hari yang lalu. Sepetinya jubah hangat sang mentari tak dapat menembus kumpalan sihir hitam sang hujan.
Jarum pendek jam dindingku sudah mendekati angka empat. Dan hujan masih setia meramaikan dengan gemuruh merdunya. Cangkir kosong yang tadinya bersisi cairan hiam kental menemani di sampingku. Beberapa kali ia isi dari tadi malam bukan untuk menghilangkan kantuk, namun hanya sekedar nyaman saat menulis atau membaca sesuatu ditemani kopi panas. Bahkan teman-teman bilang Anggik dan Kopi atau coklat itu pasangan serasi saat sedang menghadap sebuah buku.
“Sepertinya sebentar lagi akan reda hujan ini.” Bisikku lembut dalam hati dengan harapan hujan mengerti arti pintaku yang merindukan pelani di salah satu sudut langit membentang membelah cakrawala. Aku kumpulkan niat untuk beranjak dari kursi yang memelukku sedari tengah malam tadi menuju ke teras depan untuk memastikan kalimat yang tersirat dalam hati barusan.
Udara basah yang ku hirup pagi ini lebih segar dari yang ku kira sebelumnya. Beberapa tetes air hujan membasahi lekukan wajah yang masih penuh dengan aura lelah karena hanya tidur sebentar saja. Namun perlahan garis senyum tertoreh di wajah ini. Air hujan berhasil menggugah semangatku.
Tiba-tiba terdengar musik jawa mengalun perlahan dari rumah tetangga. Suara gamelan yang bersahutan membentuk harmoni melewati daun telingaku.aku pejamkan mata untuk mendalamai nada-nada yang tercipta. Mengalun lembut dan memanjakan jiwa di pagi hari. Namun, musik ini mengingatkanku tentang tugas untuk meliput tentang kebudayaan di sekitar rumah. Tugas kuliah yang terbengkalai karena komputer belum sembuh sepenuhnya di tambah lagi tugas-tugas dari mata kuliah lain yang ikut menyertai stresnya pikiranku karena data-data hilang semua. Itu komputer penuh dengan karya-karya yang aku ciptakan. Dan kini hilang.
Sebenarnya sudah beberapa hari lalu aku merencanakan untuk mengumpulkan data, di mulai dari mencari buku-buku di perpustakaan umum yang ternyata aku tidak menemukannya. Bodohnya aku yang tidak langsung bertanya kepada petugas Perpustakaan. Ahhh ya sudahlah. Beberapa kali aku mencoba mencari ke rumah narasumber yang menjadi targetku sebelumnya. Namun sialku selalu tidak pernah bertemu dengan beliau. Ya memang beliau orang yang sangat sibuk. Sudah komputer rusak, data hilang, cari buku tidak ada, cari narasumber beberapa kali tidak bertemu. Ini tugas menjadi sebuah misi yang seharusnya mudah malah menjadi misi kelas A.
Jadi untuk hari ini tidak boleh gagal lagi. Dengar-dengar ada orang yang tahu tentang hal-hal budaya di sekitar yaitu Juru Kunci. Rumah beliau tidak lebih dari 200 meter. Sekali lagi aku melakukan kesalahan. Kenapa aku harus mencari yang jauh terlebih dahulu padahal ada orang dekat yang bisa aku mintai bantuan.
Malam ini adalah malam terakhir aku harus menulis untuk menyelesaikan tugas ini karena besok jam 8 sudah terakhir mengumpulkan. Berarti ini adalah malam terakhir untuk wawancara. Tidak di sangka kerjaan masih menumpuk dan harus selesai pula malam itu.
Aku berjalan kaki dengan adik perempuanku yang masih duduk di kelas 1 SMK. Dia juga bercita-cita menjadi seseorang yang berkecimpung di dunia komunikasi. Aku berada di pintu gerbang kediaman Bapak Hartono yang tertutup rapat. Tapi aku tidak mau menyerah. Aku panggil dari depan gerbang namun tidak ada suara yang terdengar. Baiklah ada cara lain. Cara usil. Aku berjalan menuju pos kampling yang ada di depan rumah beliau dan aku pukul kentongan pertanda jadwal ronda siap di mulai yaaa padahal masih satu jam lagi biasanya di mulai. Tidak ku sangka pintu rumah Bapak Hartono terbuka dan beliau keluar. Bergegas aku menuju kearah Beliau. Dan mengucapkan salam. Pastinya mendapat keramahan beliau dan dipersilahkan masuk kerumah.
“Pak terima kasih telah memberikan waktunya untuk wawancara kali ini.” Ucapku dengan senyuman.
“Kan belum dimulai.” Pak Hartono menimpali. Tawa renyah dari kami membelah keheningan rumah. Dua gelas jus jambu yang disuguhkan Mbak Okvi selaku anak dari Pak Hartono menemani obrolan santai kami.
“Begini pak saya mau bertanya seputar Langen Tayub di Desa kita ini.” Sebelum saya berlanjut beliau sudah bercerita banyak tentang hal ini. Beliau bercerita tentang asal usul Bektiharjo yang belum banyak orang tau, bahkan aku sendiri pun belum tahu cerita yang sebenarnya. Di sinilah aku mendapatkan banyak ilmu yang tidak aku sangka. Yaaa perjuangan ini terbalaskan lebih dari yang aku inginkan. Terima kasih untuk ketidak beruntungan sebelumnya.
“Jadi sebenarnya banyak penduduk sekitar yang belum tahu asal usul kenapa desa ini di beri nama Bektiharjo.” Aku hanya bisa mengangguk mendengar pernyataan yang memang benar adanya.”Yang memberi nama desa ini ya Bupati Dandang Wacono. Dulu sebenarnya pemandian ini ada dua pohon besar dan disekitar ada beberapa pohon pula sehingga tempat ini adalah tempat yang rindang. Orang-orang akan merasa nyaman bila beristirahat di sini. Akhirnya Bupati Dandang Wacono membuat sebuah tempat peristirahatan / persinggahan atau biasa di sebut pesanggrean. Hingga suatu hari ada seseorang yang mengunjungi tempat itu dan mencium tangan kepada Bupati Dandang Wacono sehingga di beri nama “Sowan Pangabekti.” Dan seiring waktu berubah menjadi Bektiharjo.” Jelas Bapak Hartono
“Dulu sebenarnya ada kursi dan meja di dekat pemandian, namun sekarang benda yang seharusnya menjadi bukti sejarah malah hilang entah kemana. Ini yang seharusnya menjadi hal yang menarik wisatawan malah hilang. “
“Kenapa di sana ada makam? Apa yang ada di makam tersebut masuk dalam sejarah Bektiharjo?”
“oooo jelas ada, makam tersebut adalah makan Janur Wendo. Beliau adalah seorang penyiar agama islam di sini.”
Aku mencoba berpikir apa lagi yang akan aku tanyakan tentang sejarah ini. Namun ini keluar dari misi sebelumnya. Baiklah kembali ke misi awal. Satu hisapan jus jambu yang segar memulai perbincangan baru.
“Pak kenapa di sini ada langen Tayub?”
“Sebenarnya Langen Tayub ini sebuah hiburan dari Jawa sebagai bentuk syukur, hiburan, dan agar masyarakat berkumpul. Dengan media gamelan sebagai musik akan membuat orang-orang berdatangan untuk sekedar melihat atau mungkin ikut menari dengan sindir atau biasa di sebut waranggono.”
“Lantas kenapa sebelum ada Langen Tayub ini selalu ada prosesi manganan?”
“Manganan, dan Tayub sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala namun kurang tahu kepastiannya itu kapan. Acara Langen tayub ini selalu di adakan hari Rabu Pon. Manganan dan Tayub ini sebanrnya bentuk syukur atau biasa di sebut dengan sedekah bumi dari hasil tani. Tayub sendiri sebagai bentuk rasa senang. Intinya ya untuk hiburan setelah bekerja keras.”
“Nah , kenapa di Bektiharjo pak? Kenapa tidak di balai desa saja ? apa ada hubungannya dengan sejarah tadi yang bilang bahwa di pemandian Bektiharjo dulunya ada tempat yang di sebut Pesangrean?” Apa pertanyaanku tidak terlalu menghujam ya. Hihihihi
“Mas Anggik kan sudah tahu disini tempatnya sumber air yang sangat melimpah dan mengalir dibeberapa desa seperti Bektiharjo sendiri, Prunggahan Kulon, Tegalagung, hingga sampai di Desa Karang juga.”
“Lha kok berubah jadi air pak? Bukannya tadi hasil tani?”
“Hahahahaha.” Pak Hartono tertawa pelan dan berhasil membuatku bingung kenapa jadi tertawa. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan?.”Mengaliri sawah kan perlu air toh mas.” Tawanya berlanjut dan kini aku juga ikut tertawa karena aku benar-benar terlihat bodoh di sini.
“Berarti desa-desa tadi mengambil air dari sungai yang bersumber dari Bektiharjo ini ya, pak? Makanya hanya desa-desa itu saja yang menggelar manganan di desa ini.”
“Betul sekali.”
“Sebentar pak. Bukankah di sini ada dua kali kegiatan manganan ya?”
“Iya yang satunya di widodaren.”
“Apa itu juga termasuk bentuk syukur yang sama dengan yang di Pemandian pak?”
“Iya, sebenarnya sama, hanya saja di Widodaren kan ada sumber air lain. Jadi disana juga harus disyukuri seperti di pemandian.”
Sepertinya pembicaraan ini mulai mengalir deras dari sebelumnya. Terlihat dari cara berpikir dan mengucapkan kata-kata yang sudah terlihat serius. Aku sedikit mengubah posisi dudukku. Dan sepertinya pak Hartono juga menunggu pertanyaanku selanjutnya.
“Oh iya pak, di Pemandian ada prosesi melempar makanan ke pemandian ya? Itu tujuannya apa? Kok makanannya malah di buang?”
“Hahaha, itu bukan dibuang mas. Itu sebenarnya memberi makan ikan dengan dalil, kalau punya sesuatu ya harus dibagi toh, kan ikan-ikan juga butuh makan seperti kita, jadi sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa ya harus saling berbagi apabila ada rejeki.” Kata-kata yang mengalir indah itu membuatku semakin kagum dengan kebudayaan yang ada di Indonesia ini.
Jadi sebenarnya susunan acara ini sebagai bentuk syukur atas hasil tani yang lancar karena sumber air yang melimpah. Dan semua prosesinya seperti melempar nasi ke pemandian bukanlah perbuatan yang sia-sia tanpa tujuan.
“sebagai penutup, pak. Saya ingin tahu istilah-istilah yang sering saya dengar namun belum tahu kejelasannya apa itu. Seperti apa itu waranggono, Pramugari, Pengrawit, terus Tayuban, terus apa itu Sindir Siraman?”
“Hehehe, satu-satu dulu ya. Untuk apa tadi? Waranggono ya? Waranggono itu ya yng disebut Sindir tadi. Mereka adalah penari traditional jawa. Kalau di sini paling terkenal ada yang dari Bojonegoro dan Jatirogo. Terus ada lagi yang disebut dengan Pramugari. Pramugari itu yang bertugas sebagai pembawa acaranya, yang membangkitkan suasana seperti MC, sekaligus bertugas untuk menata orang-orang yang mau tayuban / mbeso.” Pak Hartono memberian jeda dalam penjelasannya untuk berpikir tadi apa aja yang aku tanyakan.”Untuk Pengrawit  itu pemain gamelannya. Kalau tayuban mas Anggik pasti tahu.”
“hehehe iya pak, Tayuban itu ya masyarakat yang ikut menari itu toh. Dan pasti bapak-bapak saja. Hahahahha”
“yang terakhir sindir siraman itu wisudanya sindir. Jadi setelah diwisuda mereka mendapatkan ijazah yang bisa digunakan sebegai identitas kelayakan mereka. Itu diadakan oleh dinas Pariwisata dan kenapa di Pemandian Bektiharjo? Itu digunakan sebagai media pengembangan wisata yang ada di Tuban.”
“Hehehe sangat jelas pak, malah lebih-lebih yang bapak sampaikan kepada saya.”
Jam sudah menunjukkan sudah hampir mendekati malam. Sudah sangat larut kami berbincang-bincang soal budaya ini. Pak Hartono sangat antusias apabila diajak berbincang-cincang seperti ini. Karena hal ini sudah selesai semua. Aku mantapkan diri untuk berpamitan kepada Pak Hartono dan melanjutkan misi terakhirku yaitu menulis semua ini dan mengirimkan ke pak dosen. Namun bukan hanya itu yang aku dapat kali ini. Pengetahuan tentang indahnya budaya Indonesia khususnya budaya Langen Tayub ini sehingga kecintaan terhdap budaya harus selalu dikembangkan bagi generasi penerus bangsa.