Sebuah Wacana
“BUDAYA
LANGEN TAYUB DI BEKTIHARJO”
Keheningan
yang aku rindukan di dalam ruangan yang penuh inspirasi bertambah semenjak
datangnya air hujan yang jatuh menyejukkan hari-hari yang menjenuhkan
akhir-akhir ini. Sunggung hujan yang tenang dan membuatku lebih nyaman untuk
duduk-duduk sekedar membaca ataupun menulis beberapa kalimat indah setelah
insiden data komputer yang hilang dua hari yang lalu. Sepetinya jubah hangat
sang mentari tak dapat menembus kumpalan sihir hitam sang hujan.
Jarum pendek
jam dindingku sudah mendekati angka empat. Dan hujan masih setia meramaikan
dengan gemuruh merdunya. Cangkir kosong yang tadinya bersisi cairan hiam kental
menemani di sampingku. Beberapa kali ia isi dari tadi malam bukan untuk
menghilangkan kantuk, namun hanya sekedar nyaman saat menulis atau membaca
sesuatu ditemani kopi panas. Bahkan teman-teman bilang Anggik dan Kopi atau
coklat itu pasangan serasi saat sedang menghadap sebuah buku.
“Sepertinya
sebentar lagi akan reda hujan ini.” Bisikku lembut dalam hati dengan harapan
hujan mengerti arti pintaku yang merindukan pelani di salah satu sudut langit
membentang membelah cakrawala. Aku kumpulkan niat untuk beranjak dari kursi
yang memelukku sedari tengah malam tadi menuju ke teras depan untuk memastikan
kalimat yang tersirat dalam hati barusan.
Udara basah
yang ku hirup pagi ini lebih segar dari yang ku kira sebelumnya. Beberapa tetes
air hujan membasahi lekukan wajah yang masih penuh dengan aura lelah karena
hanya tidur sebentar saja. Namun perlahan garis senyum tertoreh di wajah ini.
Air hujan berhasil menggugah semangatku.
Tiba-tiba
terdengar musik jawa mengalun perlahan dari rumah tetangga. Suara gamelan yang
bersahutan membentuk harmoni melewati daun telingaku.aku pejamkan mata untuk
mendalamai nada-nada yang tercipta. Mengalun lembut dan memanjakan jiwa di pagi
hari. Namun, musik ini mengingatkanku tentang tugas untuk meliput tentang
kebudayaan di sekitar rumah. Tugas kuliah yang terbengkalai karena komputer
belum sembuh sepenuhnya di tambah lagi tugas-tugas dari mata kuliah lain yang
ikut menyertai stresnya pikiranku karena data-data hilang semua. Itu komputer
penuh dengan karya-karya yang aku ciptakan. Dan kini hilang.
Sebenarnya
sudah beberapa hari lalu aku merencanakan untuk mengumpulkan data, di mulai
dari mencari buku-buku di perpustakaan umum yang ternyata aku tidak
menemukannya. Bodohnya aku yang tidak langsung bertanya kepada petugas
Perpustakaan. Ahhh ya sudahlah. Beberapa kali aku mencoba mencari ke rumah
narasumber yang menjadi targetku sebelumnya. Namun sialku selalu tidak pernah
bertemu dengan beliau. Ya memang beliau orang yang sangat sibuk. Sudah komputer
rusak, data hilang, cari buku tidak ada, cari narasumber beberapa kali tidak
bertemu. Ini tugas menjadi sebuah misi yang seharusnya mudah malah menjadi misi
kelas A.
Jadi untuk
hari ini tidak boleh gagal lagi. Dengar-dengar ada orang yang tahu tentang
hal-hal budaya di sekitar yaitu Juru Kunci. Rumah beliau tidak lebih dari 200
meter. Sekali lagi aku melakukan kesalahan. Kenapa aku harus mencari yang jauh
terlebih dahulu padahal ada orang dekat yang bisa aku mintai bantuan.
Malam ini adalah
malam terakhir aku harus menulis untuk menyelesaikan tugas ini karena besok jam
8 sudah terakhir mengumpulkan. Berarti ini adalah malam terakhir untuk
wawancara. Tidak di sangka kerjaan masih menumpuk dan harus selesai pula malam
itu.
Aku berjalan
kaki dengan adik perempuanku yang masih duduk di kelas 1 SMK. Dia juga
bercita-cita menjadi seseorang yang berkecimpung di dunia komunikasi. Aku
berada di pintu gerbang kediaman Bapak Hartono yang tertutup rapat. Tapi aku
tidak mau menyerah. Aku panggil dari depan gerbang namun tidak ada suara yang
terdengar. Baiklah ada cara lain. Cara usil. Aku berjalan menuju pos kampling
yang ada di depan rumah beliau dan aku pukul kentongan pertanda jadwal ronda
siap di mulai yaaa padahal masih satu jam lagi biasanya di mulai. Tidak ku
sangka pintu rumah Bapak Hartono terbuka dan beliau keluar. Bergegas aku menuju
kearah Beliau. Dan mengucapkan salam. Pastinya mendapat keramahan beliau dan
dipersilahkan masuk kerumah.
“Pak terima
kasih telah memberikan waktunya untuk wawancara kali ini.” Ucapku dengan
senyuman.
“Kan belum
dimulai.” Pak Hartono menimpali. Tawa renyah dari kami membelah keheningan
rumah. Dua gelas jus jambu yang disuguhkan Mbak Okvi selaku anak dari Pak
Hartono menemani obrolan santai kami.
“Begini pak
saya mau bertanya seputar Langen Tayub di Desa kita ini.” Sebelum saya
berlanjut beliau sudah bercerita banyak tentang hal ini. Beliau bercerita
tentang asal usul Bektiharjo yang belum banyak orang tau, bahkan aku sendiri
pun belum tahu cerita yang sebenarnya. Di sinilah aku mendapatkan banyak ilmu
yang tidak aku sangka. Yaaa perjuangan ini terbalaskan lebih dari yang aku
inginkan. Terima kasih untuk ketidak beruntungan sebelumnya.
“Jadi
sebenarnya banyak penduduk sekitar yang belum tahu asal usul kenapa desa ini di
beri nama Bektiharjo.” Aku hanya bisa mengangguk mendengar pernyataan yang
memang benar adanya.”Yang memberi nama desa ini ya Bupati Dandang Wacono. Dulu
sebenarnya pemandian ini ada dua pohon besar dan disekitar ada beberapa pohon
pula sehingga tempat ini adalah tempat yang rindang. Orang-orang akan merasa
nyaman bila beristirahat di sini. Akhirnya Bupati Dandang Wacono membuat sebuah
tempat peristirahatan / persinggahan atau biasa di sebut pesanggrean. Hingga
suatu hari ada seseorang yang mengunjungi tempat itu dan mencium tangan kepada
Bupati Dandang Wacono sehingga di beri nama “Sowan Pangabekti.” Dan seiring
waktu berubah menjadi Bektiharjo.” Jelas Bapak Hartono
“Dulu
sebenarnya ada kursi dan meja di dekat pemandian, namun sekarang benda yang
seharusnya menjadi bukti sejarah malah hilang entah kemana. Ini yang seharusnya
menjadi hal yang menarik wisatawan malah hilang. “
“Kenapa di
sana ada makam? Apa yang ada di makam tersebut masuk dalam sejarah Bektiharjo?”
“oooo jelas
ada, makam tersebut adalah makan Janur Wendo. Beliau adalah seorang penyiar
agama islam di sini.”
Aku mencoba
berpikir apa lagi yang akan aku tanyakan tentang sejarah ini. Namun ini keluar
dari misi sebelumnya. Baiklah kembali ke misi awal. Satu hisapan jus jambu yang
segar memulai perbincangan baru.
“Pak kenapa di
sini ada langen Tayub?”
“Sebenarnya
Langen Tayub ini sebuah hiburan dari Jawa sebagai bentuk syukur, hiburan, dan
agar masyarakat berkumpul. Dengan media gamelan sebagai musik akan membuat
orang-orang berdatangan untuk sekedar melihat atau mungkin ikut menari dengan
sindir atau biasa di sebut waranggono.”
“Lantas kenapa
sebelum ada Langen Tayub ini selalu ada prosesi manganan?”
“Manganan, dan
Tayub sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala namun kurang tahu kepastiannya itu
kapan. Acara Langen tayub ini selalu di adakan hari Rabu Pon. Manganan dan
Tayub ini sebanrnya bentuk syukur atau biasa di sebut dengan sedekah bumi dari
hasil tani. Tayub sendiri sebagai bentuk rasa senang. Intinya ya untuk hiburan
setelah bekerja keras.”
“Nah , kenapa
di Bektiharjo pak? Kenapa tidak di balai desa saja ? apa ada hubungannya dengan
sejarah tadi yang bilang bahwa di pemandian Bektiharjo dulunya ada tempat yang
di sebut Pesangrean?” Apa pertanyaanku tidak terlalu menghujam ya. Hihihihi
“Mas Anggik
kan sudah tahu disini tempatnya sumber air yang sangat melimpah dan mengalir
dibeberapa desa seperti Bektiharjo sendiri, Prunggahan Kulon, Tegalagung,
hingga sampai di Desa Karang juga.”
“Lha kok
berubah jadi air pak? Bukannya tadi hasil tani?”
“Hahahahaha.”
Pak Hartono tertawa pelan dan berhasil membuatku bingung kenapa jadi tertawa.
Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan?.”Mengaliri sawah kan perlu air
toh mas.” Tawanya berlanjut dan kini aku juga ikut tertawa karena aku
benar-benar terlihat bodoh di sini.
“Berarti
desa-desa tadi mengambil air dari sungai yang bersumber dari Bektiharjo ini ya,
pak? Makanya hanya desa-desa itu saja yang menggelar manganan di desa ini.”
“Betul
sekali.”
“Sebentar pak.
Bukankah di sini ada dua kali kegiatan manganan ya?”
“Iya yang
satunya di widodaren.”
“Apa itu juga
termasuk bentuk syukur yang sama dengan yang di Pemandian pak?”
“Iya,
sebenarnya sama, hanya saja di Widodaren kan ada sumber air lain. Jadi disana
juga harus disyukuri seperti di pemandian.”
Sepertinya
pembicaraan ini mulai mengalir deras dari sebelumnya. Terlihat dari cara
berpikir dan mengucapkan kata-kata yang sudah terlihat serius. Aku sedikit
mengubah posisi dudukku. Dan sepertinya pak Hartono juga menunggu pertanyaanku
selanjutnya.
“Oh iya pak,
di Pemandian ada prosesi melempar makanan ke pemandian ya? Itu tujuannya apa?
Kok makanannya malah di buang?”
“Hahaha, itu
bukan dibuang mas. Itu sebenarnya memberi makan ikan dengan dalil, kalau punya
sesuatu ya harus dibagi toh, kan ikan-ikan juga butuh makan seperti kita, jadi
sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa ya harus saling berbagi apabila ada
rejeki.” Kata-kata yang mengalir indah itu membuatku semakin kagum dengan
kebudayaan yang ada di Indonesia ini.
Jadi
sebenarnya susunan acara ini sebagai bentuk syukur atas hasil tani yang lancar
karena sumber air yang melimpah. Dan semua prosesinya seperti melempar nasi ke
pemandian bukanlah perbuatan yang sia-sia tanpa tujuan.
“sebagai
penutup, pak. Saya ingin tahu istilah-istilah yang sering saya dengar namun
belum tahu kejelasannya apa itu. Seperti apa itu waranggono, Pramugari, Pengrawit,
terus Tayuban, terus apa itu Sindir Siraman?”
“Hehehe,
satu-satu dulu ya. Untuk apa tadi? Waranggono ya? Waranggono itu ya yng disebut
Sindir tadi. Mereka adalah penari traditional jawa. Kalau di sini paling
terkenal ada yang dari Bojonegoro dan Jatirogo. Terus ada lagi yang disebut
dengan Pramugari. Pramugari itu yang bertugas sebagai pembawa acaranya, yang
membangkitkan suasana seperti MC, sekaligus bertugas untuk menata orang-orang
yang mau tayuban / mbeso.” Pak Hartono memberian jeda dalam penjelasannya untuk
berpikir tadi apa aja yang aku tanyakan.”Untuk Pengrawit itu pemain gamelannya. Kalau tayuban mas
Anggik pasti tahu.”
“hehehe iya
pak, Tayuban itu ya masyarakat yang ikut menari itu toh. Dan pasti bapak-bapak
saja. Hahahahha”
“yang terakhir
sindir siraman itu wisudanya sindir. Jadi setelah diwisuda mereka mendapatkan
ijazah yang bisa digunakan sebegai identitas kelayakan mereka. Itu diadakan
oleh dinas Pariwisata dan kenapa di Pemandian Bektiharjo? Itu digunakan sebagai
media pengembangan wisata yang ada di Tuban.”
“Hehehe sangat
jelas pak, malah lebih-lebih yang bapak sampaikan kepada saya.”
Jam sudah
menunjukkan sudah hampir mendekati malam. Sudah sangat larut kami
berbincang-bincang soal budaya ini. Pak Hartono sangat antusias apabila diajak
berbincang-cincang seperti ini. Karena hal ini sudah selesai semua. Aku
mantapkan diri untuk berpamitan kepada Pak Hartono dan melanjutkan misi
terakhirku yaitu menulis semua ini dan mengirimkan ke pak dosen. Namun bukan
hanya itu yang aku dapat kali ini. Pengetahuan tentang indahnya budaya
Indonesia khususnya budaya Langen Tayub ini sehingga kecintaan terhdap budaya
harus selalu dikembangkan bagi generasi penerus bangsa.