Rabu, 16 Agustus 2017

#Perjalananbukanpelarian

“ G E R A U “
Kau tak sebiru yang dulu

Lukisan langit semakin luas saja. Ia tidak tanggung dalam memenuhi bingkai kecil ini. Tanganku juga tidak ada hentinya untuk menulis di langit itu menggunakan imaji yang menderu. Tak jarang juga mulutku meracau tak karuan menyebutkan mantra-mantra untuk mencipta harapan. Dan tiba-tiba hati menggelitik untuk berjanji semua itu akan aku wujudkan dengan pasti. Suatu saat nanti.
Tak ku sangka aku bertemu denganmu di persimpangan dalam perjalanan menemukan rotasiku. Kau dengan senyum yang seperti biasa dan banyangan … yang menyelimuti. Yang seperti biasanya. Kali ini aku tak melihat binar matamu. Warna langit kini tak ku temukan di bagian itu. Meski sama-sama biru, matamu tak seperti langit yang biasa aku pandang. Ada warna hitam yang bercampur sehingga tak seperti warna langit. Apa hatimu juga tak seperti dulu? .
Aku menatapnya lebih dalam hanya untuk memastikan bahwa sesuatu yang (dulu) membekukanku masih hidup atau sudah semu? Ternyata memang benar, aku tak menemukan walau sedikit. Kini matamu tak mampu membekukanku termasuk langkah-langkahku. Aku masih bisa berjalan bebas tanpa dirimu. Aku tak terkekang oleh sesuatu yang hanya sesaat. Keindahanmu bukan lagi sesuatu yang aku puja seperti dulu. Kini kau hanyalah menjadi sebuah barang antik dalam hatiku yang akan aku taruh dalam tempat tersendiri. Barang antik yang mahal harganya.
Kali ini aku menjabat tanganmu dan mengucap apa kabar – sebagai masa lalu -. Aku tak bermaksud menggenggam tanganmu, aku hanya ingin menyentuhnya dan memastikan apa kau masih sehangat dulu.
“Aku baik-baik saja.” Jawabmu dan dalam hati aku akan selalu mendoakan kau baik-baik saja. Kau bisa lihat sendiri bukan? Aku lebih baik dari yang dulu. Luka yang ku dapat dari perjalanan yang membuatku tersungkur kini sudah benar-benar menghilang seolah tak pernah ada. Hanya ingatan dan pelajaran-pelajaran yang masih tertata rapi di ingatan. Au janji akan tetap membuatnya rapi seperti saat ini.
“Kau akan kemana?” pertanyaanmu sudah ku duga sebelumnya. Aku akan ke arah langit cerah. Tak heran bukan aku berjalan ke arah itu setelah badai yang aku temui. Sebenarnya…
Aku tak menyangka diriku sampai di sini
Tak ku sangka pula aku bertemu denganmu yang pernah menggores luka

Tak ku sangka harus bertemu di saat setelah aku mulai bangkit

Tak kusangka aku tak merasakan bekunya langkah dan sesaknya dada

Dan tak kusangka aku berjalan maju untuk bertemu cahaya

Benar-benar tak ku sangka aku yang pernah menyamakan langkah, kini melangkah ke lain arah…


Gerau
Biru kehitam-hitaman
Biru yang tak seperti langit
Biru yang tak seperti dulu
Gerau


#Perjalanan Bukan Pelarian

“ P E N D A R “
Wajahmu ada di cahaya penutup senja

Aku ingat saat cahaya sore terpantul di matamu. Warna jingganya mengisyaratkan keindahan. Sinarnya membuai wajahmu yang menimatinya dengan rekahan senyuman. Kau berdiri di sampingku dan menggengam tanganku dengan keyakinan.
Penuh harap.
Sesekali kau menoleh ke arahku, sesekali pula kau membuang muka secepatdiriku menyadarinya. Biasan mentari terlihat di kedua matamu. Berbinar tanpa henti untuk menikmati tiap alurnya. Rekahan warna jingga memperdalam suasana. Kiata di antara pendar.
Perahu membelah ombak di hadapan mata. Kita menuju ketengah lautan. Menjauhi mereka yang hanya diam menikmati senja. Kita ingin merengkuhnya berdua. Panorama pemikat jiwa. Seolah asa kita titipkan kepada bayangan senja yang terpantul dari lautan.
Lihatlah, bahkan samudra juga mengagumi kalian…
Senja dan orang yang kini di sampingku untuk bersandar di pundakku.
Sketsa ini tak bisa terlupa. Coba bayangkan apa yang mereka lihat. Kita di tengah bayangan matahari yang segera tenggelam di lautan. Kita menciptakan siluet untuk mereka nikmati. Sebuah titik kecil pelengkap senja.
Sesekali tanganmu merengkuh air laut, tiap kali tanganku merengkuh hatimu.
Mentari telah lenyap tenggelam kelautan dan digantikan gemintang yang membuat gugusan. Keindahannya berganti namun keindahanmu tidak.
Kita beranjak menepi meski berulang kali kau ingin tetap di sini, berulang kali hatiku berkata di manapun itu asal di sampingmu.
Masih saja terbayang wajah mu saat melihat senja, matamu terlihat sangat berbinar. Pantulan cahaya senja masih ada hingga sekarang. Mungkin karena aku suka senja, mungkin juga karena aku suka kamu, atau aku suka kalian berdua.


Senja berakhir untuk memberi kesempatan gemintang berpendar 

17 Agustus tahun ini?

Ada yang melintas di benak saya setiap tanggal 17 Agustus. Entah otak atau hati yang mencoba berimajinasi tentang perang di era perjuangan. Semua harus angkat senjata, menjadikan apapun menjadi alat untuk menyambung hidupnya. Kesempatan untuk saling menikmati hidup seperti sekarang seolah hanya mimpi, bahkan untuk bermimpipun pasti akan susah. Penderitaan adalah sesuatu yang harus segera dimusnahkan.

Tanggal 17 Agustus yang lalu hampir sama dengan saat ini, perayaan dengan berbagai lomba, dengan pawai, upacara di pagi hari untuk para orang yang berseragam. Untuk yang berseragam. Dengan semangat yang menggebu atau hanya sebagai formalitas? Banyak orang yang ingin upacara seperti itu, mereka bukan orang-orang yang berseragam namun mereka kadang menangis melihat bendera yang berkibar begitu tingginya, atau kadang merinding dan ikut menyatu dengan lantunan Indonesia Raya.

Lantas apakah semua telah merdeka sehingga bisa menikmati itu semua? Aku rasa kita hanya merdeka dari perang melawan penjajah saat dulu saja. Saat ini kita perang dengan banyak hal. Kemiskinan yang belum teratasi, tapi sosial media membahas tentang perkembangan negeri. Gedung-gedung tinggi telah berdiri, rumah-rumah konglomerat semakin megah. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang masih berjuang dan hampir putus asa? Negeri ini memang semakin maju, tapi di sisi lain banyak orang yang menunggu. Tentang bukti nyata bahwa semuanya mudah di negeri ini.
Ini tanah air kita atau tanah dan air orang lain?

Kita di sibukkan diri dengan hal-hal untuk menyelematkan diri sendiri. Tunggu dulu, menyelamatkan? Kita belum merdeka?

Di tahun ini antara 17 Agustus tahun lalu dengan 17 agustus tahun saat ini, banyak orang yang mempersiapkan masa depan, ada juga yang jatuh dengan mimpinya, ada yang merasa kehilangan, ada yang mendapatkan kabar gembira, ada yang masih biasa-biasa saja tanpa perkembangan, ada yang bersyukur, ada pula yang mengutuk, ada yang punya teman baru, ada pula yang harus meninggalkan masa lalu, ada yang bergerak maju, ada pula yang diam di tempat, ada yang lahir, ada yang tinggal menanti ajal, ada yang bersemangat, ada yang mematahkan, ada yang menuntun, ada yang mengajak, ada yang menjatuhkan, ada yang tersenyum, ada pula yang hancur dengan tangisnya. Kita indonesia, kita kibarkan bendera yang sama dan lebih tinggi dari kita, dari siapapun di Indonesia. Kita memandang bendera yang sama, kita tiada beda, sama rata.


 Lihatlah sekeliling kita, masih banyak tugas kita yang belum kita selesaikan. Saling membantu saudara-saudara kita meraih cita, maka dengan mudahnya kita meraih cita kita juga, maka dengan indahnya kebersamaan kita. 

DAN KITALAH INDONESIA